Dalam pembangunan fisik bangsa dan negara, peranan para pakar teknik sipil merupakan hal yang krusial dan tidak terelakkan. Dapat dikatakan Engineer merupakan salah satu pilar utama dalam membangun kekayaan fisik suatu bangsa. Karena itu Engineer selalu dituntut untuk bersikap kritis, efisien dan kompetitif. Sungguh tantangan profesi yang menarik, namun harus kita akui bahwa tidak mudah untuk menjalaninya. Banyak sekali hambatan-hambatan non teknis yang dihadapi.
Kelangkaan proyek, ketiadaan lapangan kerja yang menarik dan memadai, akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, perubahan dalam tatanan kehidupan nasional dan dunia dengan laju yang sangat cepat, tuntutan kebutuhan materi yang semakin meningkat, mengakibatkan banyak Engineer yang meninggalkan profesinya. Dunia profesi dan berbisnis dalam bidang lain nampak lebih menjanjikan… Rumput di rumah tetangga nampak lebih hijau ……..
Mungkin tidak salah kalau dikatakan bahwa semasa sekolah dahulu, kita yang bersekolah dalam bidang Ilmu Pasti dan kuliah dalam bidang teknik, pada umumnya, sadar atau tidak, merasa lebih ‘pandai’ dari teman-teman yang bersekolah dibidang ilmu-ilmu sosial dan ekonomi. Kini, dalam kenyataannya, banyak engineer yang ramai-ramai exodus keluar dari dunia teknik dan mencari nafkah di bidang yang jauh dari ilmu-ilmu teknik yang notabene telah ditekuninya bertahun-tahun.
Sementara yang tetap bertahan, baik karena cinta pada profesinya ataupun karena tidak punya pilihan lain, terpaksa berkecimpung dengan segala realitas permasalahan non teknis yang sering terasa tidak enak untuk dihadapi.
2. PERMASALAHAN
Profesi seorang Engineer, baik dalam dunia teknik sipil, struktur ataupun geoteknik, mengalami banyak sekali permasalahan dan hambatan (Worsak, 2000; Chiang A.,2003), diantaranya:
• Produk seorang Engineer sangat unik. Sangat sukar untuk membandingkan karya dua orang Engineer secara adil dan objektif. Namun seringkali pekerjaan atau proyek didapat melalui ‘koneksi’. Seorang engineer yang dapat bersikap ’manis dan menyenangkan’ mendapatkan kesempatan dan proyek yang lebih banyak daripada Engineer yang bersikap tegas dan objektif.
• Faktor keamanan yang tinggi dan penerapan peraturan-peraturan konstruksi (code) membantu ‘menyembunyikan’ engineer yang berkemampuan kurang. Teori/teknik canggih dan terbaru sangat jarang diterapkan dalam praktek.
• Peraturan (code of practice), keterbatasan waktu dan peralatan canggih mematikan kreativitas, sering kali Engineer hanya menjadi operator yang hanya mengulang apa yang sudah pernah ada dan sudah pernah dikerjakan.
• Banyak Engineer, terpaksa ataupun tidak, menjadi ”yes-man” yang melakukan segala permintaan para investor / pemilik proyek. Sering kali Engineer hanya menjadi ‘alat’ sang investor, (dengan terpaksa atau tidak) merencanakan dan membangun proyek yang sesungguhnya mengakibatkan kerusakan lingkungan dan tatanan kehidupan sosial.
• Engineer tidak mampu mempresentasikan aspirasi dan pengetahuannya terhadap para investor. Sebaliknya, sang Arsitek dan/atau Pemilik Modal jauh lebih mampu mempresentasikan kehendaknya, sekalipun hal itu diluar pengetahuannya. Engineer bekerja, orang lain yang mendapatkan pujian.
• Karir seorang Engineer di negara berkembang berumur pendek. Katanya: Tidak ada yang tidak dapat dikerjakan Engineer kecuali tetap bekerja dalam bidang Engineering! (Nothing under the sun engineers cannot do, except continuing to do engineering!). Pekerjaan lain lebih menjanjikan, mengapa tidak??
• Diluar Engineering, pengetahuan Engineer sering kali sangat terbatas. Di era gobalisasi ini pengetahuan akan Engineering saja tidaklah cukup!
• Proses tender yang selalu mencari penawaran terendah membawa dampak yang merusak. Sistem tender yang menciptakan suasana sangat-sangat kompetitif itu membuat Engineer bergulat demi mempertahankan kelangsungan profesi dan perusahaannya. Sang Engineer tidak hanya membanting tulang, tetapi juga banting membanting harga dan sering kali kualitas terpaksa menjadi korban. Pemilik perusahaan terpaksa menekan honor Engineer. Pada gilirannya suasana ini akan mematikan Kreativitas dan Etika sang Engineer. Atau paling tidak, memaksa sebagian besar Engineer meninggalkan dunia Engineering.
Singkatnya, kecuali kita selaku Engineer bersedia berubah, mengubah sikap kita terhadap permasalahan ini, maka pada akhirnya kita hanya menjadi KOMODITI dalam dunia konstruksi dan tidak lagi sebagai Engineer yang bernilai dan ber-kredibilitas tinggi apalagi sebagai Pilar Pembangunan Bangsa dan Negara.
Dan, yang lebih menyedihkan, kata-kata sejenis ini terdengar dari mulut beberapa engineer yang notabene cukup punya nama: “Kalau aku tahu profesi ini akan seperti ini jatuhnya, mendingan aku jualan bakmi saja dari dahulu. Aku sudah bilang anak-anak, jangan sekolah teknik sipil, cari bidang lain saja”. Nah loh…., kalau demikian bukankah nantinya Engineer akan sulit dicari?
“Bagus, dong. Dengan demikian harga Engineer akan naik.” Demikian kata sebagian Engineer. Apa kita harus menunggu hal seperti itu terjadi untuk menaikkan nilai (value / harkat) seorang engineer???
3. SOLUSI-NYA?
Dalam pembicaraan-pembicaraan sesama Engineer sering kali terdengar kata-kata: “Problem sudah kita ketahui, bagaimana seorang engineer ideal bersikap juga sudah kita ketahui. Namun apa yang bisa kita lakukan? Sistemnya memang sudah demikian! Semua hal memerlukan dana, memasang tarif tertentu untuk menaikkan engineering fee? Percuma! Akan dilanggar juga oleh sesama Engineer!”
Tidak bisa dipungkiri, persoalan yang pada akhirnya terkait pada masalah uang ini, atau meminjam istilah anak-anak muda sekarang: UUD = Ujung-Ujungnya Duit, memang sangat peka dan sulit. Namun, fakta juga tidak bisa dipungkiri, bahwa kita perlu dan memerlukan perubahan… tentunya ke arah yang lebih baik.
Nothing is constant, only the changes is constant! Tidak ada yang abadi, yang abadi hanyalah perubahan. Dr. J. Spencer dalam bukunya Who Moved My Cheese menekankan pentingnya mengantisipasi dan proaktif terhadap perubahan. Old beliefs do not lead you to new cheese, the quicker you let go of old cheese, the sooner you find new cheese. Dengan kata lain: keyakinan lama tidak akan membawa kemajuan. Semakin cepat kita melepaskan keyakinan lama, semakin cepat kita menuju hal-hal baru.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengajak teman-teman se-profesi untuk mengkaji permasalahan-permasalahan diatas dan memikirkan langkah-langkah yang bisa kita lakukan, baik secara individu maupun selaku anggota komunitas Engineer, demi kemajuan profesi kita bersama yaitu selaku: Engineer. Tanpa ber-pretensi lebih tahu, di bawah ini penulis ingin memberikan beberapa sumbang saran…
3.1 ETIKA
Penulis pernah membaca literatur yang membahas masalah Etika Profesi, disana dibahas bagaimana kata-kata Etika, yang dalam bahasa Inggris itu ditulis ETHICS, diuraikan huruf per huruf menjadi jabaran kode etik profesi yang sangat menarik dan yang bisa mengangkat harkat profesi kita. Dibawah penulis menyajikan bahasan tersebut yang penulis sesuaikan untuk profesi Engineering yang kita geluti bersama ini,
E = Excellence = Keunggulan
Selaku profesional, seorang Engineer, harus bersikap terus menerus memperbaiki pengetahuannya, selalu mencari solusi yang terbaik. Tidak boleh bergantung kepada code of practice secara membuta. Engineer tidak boleh bersikap pasif, melainkan harus pro-aktif untuk beradaptasi dengan era globalisasi yang serba cepat ini. Engineer yang tidak selalu pro-aktif memperbarui diri dengan pengetahuan dan teknologi baru akan tertinggal jaman.
Dalam era globalisasi ini hanya bermodalkan disiplin pengetahun Engineering itu sendiri tidaklah cukup, seorang Engineer perlu melengkapi dirinya dengan pentetahuan dasar akan ilmu-ilmu sosial, ekonomi, keuangan, humas, dan lain-lain yang terkait dengan pekerjaannya. Pengetahuan dan keahlian mana diperlukan untuk secara efektif mengkomunikasikan proses engineering. Untuk menganalisa, untuk berpikir secara lateral (dalam keterkaitan dengan bidang diluar engineering) dan vertikal (dalam bidang engineering secara mendalam), men-sintesa, memformulasikan permasalahan, dan menyelesaikannya.
T = Trustworthy = Terpercaya
Pengetahuan Engineering merupakan pengetahuan yang sangat khusus, tidak banyak orang yang menguasai disiplin ilmu ini. Karenanya seorang Engineer harus mempunyai kebanggaan diri dalam merefleksikan kepercayaan. Setiap kata dan tindakan dalam menjalankan profesi-nya harus dapat diandalkan. Seorang Engineer wajib memberikan dan menerapkan solusi yang terbaik yang diketahuinya. Sesama Engineer harus juga bisa saling menghormati, saling dipercaya dan mempercayai. Serta tidak saling menjatuhkan satu sama lain.
H = Honesty = Kejujuran
Agar dapat dipercaya seorang Engineer harus jujur terhadap profesinya, terhadap diri sendiri, terhadap sesama Engineer dan terhadap client-nya.
Diperlukan sikap lapang dada dalam menerima saran dan kritik dari sesama Engineer demi kemajuan bersama. Jujur dalam mengemukakan keuntungan dan kerugian alternatif-alternatif solusi yang diajukannya.
Kejujuran merupakan pangkal dari prilaku etikal. Kejujuran berarti mengatakan sesuatu apa adanya. Kejujuran berarti selalu menjaga untuk tidak membohongi orang lain, baik secara sengaja ataupun dengan bersikap diam. Contoh: Bilamana sang Engineer bahwa solusi dengan menggunakan suatu teknik perbaikan tanah merupakan solusi yang terbaik dan termurah, namun sang Engineer bersikap diam karena solusi tersebut berarti pekerjaan akan jatuh ke tangan Engineer lain. Sebuah dilemma bukan? Namun, disinilah sikap etikal itu akan sangat menentukan.
Kejujuran juga berarti bersikap adil, menerima dan memberi apa yang menjadi hak orang lain, menerima kewajiban dan menolak hal-hal yang tidak merupakan hak dan yang berada diluar otoritas-nya. Menerima dan mengerjakan tugas yang memang bisa dikerjakannya, dan tidak mengerjakan tugas yang berada diluar bidang keahliannya. Walaupun sering kali kita ditempatkan dalam kesulitan untuk bersikap jujur sejujur-jujurnya, namun bila kita selaku Engineer dapat menjaga dan memelihara sikap jujur tersebut, maka pada akhirnya akan mengangkat nilai sang Engineer dan profesi Engineering itu sendiri.
I = Integrity = Integritas
Engineer selayaknya menjunjung tinggi integritas pribadi dan bidang keahliannya dengan berlaku tegas dan tegar terutama sekali dalam menegakkan dan menerapkan pengetahuannya. Keputusan seyogyanya diambil dengan juga mempertimbangkian dampak lingkungan dan tidak semata-mata demi kepentingan pribadi dan/atau pemberi tugas. Berani menegakkan integritasnya dengan jalan mengedepankan kepentingan umum dan menolak segala bentuk insentif dan paksaan yang bisa mengakibatkan kerusakan lingkungan.
Keputusan hendaknya diambil dengan tidak mengutamakan keuntungan materi, tetapi berdasarkan pertimbangan engineering dan dampak lingkungan. Bilamana diperlukan harus dapat mengatakan: “Tidak” kepada pemberi tugas. Tidak bersikap menjadi “Yes-man” dan tidak mengambil sikap asal “menyenangkan” pemberi tugas. Tentunya disini diperlukan teknik penyampaian kata TIDAK yang baik. Jelas bahwa Engineer juga memerlukan pengetahuan Human Relation.
Integritas berarti tidak saja bersikap jujur tapi juga berarti tahan untuk tidak bersikap korup. Engineer dengan integritas tinggi mengerjakan dan berkata benar, sekalipun hal itu berakibat kehilangan proyek. Tentunya cobaan untuk bersikap seperti itu sangatlah besar, semakin besar nilai proyek semakin sulit mengambil sikap dengan integritas tinggi. Menolak terlibat dalam proyek yang nyata-nyata diketahui berdampak negatif namun bernilai besar merupakan cobaan yang sangat besar terhadap Integritas sang Engineer. Namun, itulah essensi dari nilai Integritas.
Diperlukan kemampuan komunikasi yang tinggi untuk bersikap jujur dan ber-integritas, karenapengetahuan Engineering saja tidaklah cukup, diperlukan pengetahuan human relation dan sedikit psychology.
C = Caring = Perduli
Setiap buah karya Engineer seyogyanya juga dilandasi dengan pemikiran yang berdasarkan keperdulian terhadap lingkungan dan masyarakat. Berusaha agar dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat sekecil mungkin. Dan sebaliknya agar karyanya itu bahkan berdampak positif terhadap kehidupan. Disinilah letak keanggunan dari karya sang Engineer.
Ini berarti bersikap perduli. Bekerja tidak hanya bermotifkan kepentingan pribadi dan kepentingan pemberi tugas tetapi juga mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas dan lingkungan.
Perduli terhadap kepentingan rekan-rekan se-profesi. Sikap memper-timbangkan kepentingan rekan se-profesi pada akhirnya akan membawa dampak positif terhadap profesi engineering itu sendiri.
Abraham Lincoln berkata: Orang yang membiarkan kesalahan berlalu dihadapannya, sama salahnya dengan orang yang membuat kesalahan.
S = Selflessness = Tidak Egois
Tidak bersikap egois, tidak mengedepankan kepentingan diri pribadi. Tidak bersikap seperti economic animal yang menilai semua dari sudut kepentingan ekonomi semata.
Enam huruf ETHICS yang dijabarkan sebagai akronim dari enam kata: Excellence, Trustworthy, Honesty, Integrity, Caring dan Selflessness itu saling kait mengait, merupakan suatu kesatuan kode etik prilaku yang tidak mudah dijalankan.
Bersikap etikal seringkali memerlukan sebuah harga yang mahal, menimbulkan kerugian jangka pendek, tidak jarang membawa sang Engineer dalam posisi berhadapan terhadap pemberi tugas, terhadap sesama rekan seprofesi, terhadap atasan, bahkan terhadap anggota keluarga kita yang tidak bersedia menanggung kerugian materi akibat mengedepankan etika. Tekad saja tidaklah cukup. Tanpa tindakan, semua maksud baik tinggal maksud dan tidak bermakna sama sekali. Diperlukan keberanian dan ketegasan untuk bertindak etis. Walaupun ada kerugian jangka pendek, namun keberanian menegakkan prinsip-prinsip etika pada akhirnya akan memenangkan rasa hormat rekan seprofesi, atasan, pemberi tugas dan juga anggota keluarga sang Engineer.
Engineer tidak boleh membiarkan dirinya dipergunakan sebagai alat dari pemberi tugas atau alat dari profesi lain, tetapi harus memposisikan diri kita untuk menjadi pemikir, pemecah permasalahan(problem solver), dan salah satu leader dalam masyarakat.
3.2 HOW TO SELL OURSELVES ?
Era globalisasi membawa perubahan tatanan sosial yang amat cepat dan dunia ekonomi yang semakin kompetitif. Teknologi internet membuat dunia semakin kecil, email, world wide web, internet phone dan video conferencing membuat Engineer dapat melakukan tugasnya dari mana saja, tanpa perlu melakukan banyak tatap muka langsung. Ini berarti persaingan dengan Engineer dari luar negeri juga semakin terbuka lebar. Jelas bahwa dunia Engineering yang menjadi salah satu pilar penting dalam pembangunan bangsa dan negara juga mengalami dampak yang sangat besar, baik dari segi teknologi maupun dalam sisi ekonomi.
Di suatu sisi perkembangan teknologi dan kompetisi ketat membawa dampak positif dalam peningkatan efisiensi. Namun, TERLAMPAU KOMPETITIF, membawa dampak negatif, membuat sebagian besar Engineer mengambil posisi survival dengan akibat marjin keuntungan yang terlampau rendah atau bahkan tanpa keuntungan, tidak bisa berinvestasi untuk belajar, apalagi berinvestasi untuk teknologi dan peralatan baru. Bila keadaan seperti ini terus berlangsung, pada saatnya nanti (atau bahkan sekarang sudah terjadi?), Engineer local betul-betul hanya akan menjadi ‘alat’ dari para pemilik modal, ‘pembantu’ dari para konsultan luar negeri. Kasarnya, mengutip apa pernah terlontar dari mulut seorang konglomerat dan seorang pemilik alat-alat berat: “Sebenarnya, kalian Engineer sama saja dengan kuli, hanya bedanya kalian adalah kuli pintar yang tidak bisa berbisnis.” Sepintas terasa sangat-sangat menyinggung dan merendahkan. Namun, bila sejenak kita melepaskan professional pride kita selaku Engineer dan melihat bagaimana banyak dari antara kita bersikap saling membanting harga, dan untuk men-justify tindakan itu kita berkata: “Habis bagaimana lagi? Sistemnya sudah begitu? Kalau kita tidak mau ada orang lain yang mau!” atau “Membuat kartel? Melangggar etika bisnis! Menentukan harga? Percuma akan dilanggar sendiri!”
Terasa sekali ada hal yang sangat kurang disini? Apa yang kurang? Kasarnya, seperti kata sang konglomerat tadi: Engineer tidak bisa berbisnis! Halusnya, seperti yang penulis kutip dari kalangan agen asuransi jiwa (profesi yang sering kali dijauhi orang dan bahkan sering dianggap pes), kita harus belajar: How to sell ourself (with pride and honor)? Yah, Bagaimana kita menjual diri kita? (maaf, jangan diartikan menjual diri seperti pelacur). Intinya adalah bagaimana kita memposisikan diri dalam menjual jasa kita, dengan kebanggaan dan secara terhormat?
Tengoklah, Mengapa dokter bisa menetapkan harga tanpa ditawar? Karena mereka berurusan dengan jiwa manusia sehingga pasiennya tidak berani menawar. Baik, lalu bagaimana dengan notaris? Bagaimana dengan salon, bengkel mobil, super market dll? Apakah persaingan mereka kurang ketat? Oh, itu karena konsumen mereka jauh lebih luas, demikian jawab kita. Benarkah?? Sebagai masukan: Penulis pernah mendampingi beberapa orang businesman dalam berbisnis, satu jenis sisir wanita dibeli dengan harga S$0.8 atau sekitar Rp. 4.000,- di supplier dari Singapore, dalam grosiran dijual dengan harga Rp. 18.000,- di Jakarta, tiba di department store harga menjadi Rp. 28.000,-? Kita lalu berdalih, karena dia tidak ada saingan, coba tengok ke Pasar Pagi, Mangga Dua, banyak sekali toko yang menjual sisir itu!! Contoh lain: Berapa biaya yang kita keluarkan setiap kali membetulkan ac mobil kita? Agar diketahui penulis melihat dengan mata kepala sendiri salah satu spare part dengan modal dasar sekitar Rp. 80.000,- dibeli via Singapore, bisa dijual dengan harga Rp. 250,000.- di bengkel!! Masih kurang yakin? Berapa harga sebotol coca cola di super market? Dan berapa harga minuman yang sama di hotel berbintang lima?? Toh, tetap saja orang datang dan minum disana.
Ingin contoh dari dunia kita sendiri? Konsultasi perbaikan tanah, satu orang engineer bisa mendapatkan dengan harga Rp. 60.000.000,- sementara untuk pekerjaan yang sama engineer lain mengerjakan dengan harga 7 kali lipat dibawah itu. Padahal harga yang 60 juta itu sudah didapatkan SPK via tender.
Mengapa? Jelas sekali ada yang kurang pada diri kita. Apa? Kembali kepada ucapan dari kalangan agen asuransi jiwa: HOW TO SELL OURSELF? Kita perlu belajar Selling Tehcnique atau teknik menjual. Kita perlu belajar Professional Salesmanship. Intinya: Bagaimana kita memposisikan diri, bagaimana kita menilai diri kita sendiri, bagaimana kita menjual jasa kita berdasarkan apa yang disebut SPIN – Situation, Problems, Implication dan Needs Pay-off. Suatu teknik menjual dengan memahami situasi, problem yang dihadapi client, implikasi dari problem yang dihadapinya, dan manfaat dari solusi yang ditawarkan. Jelasnya bisa dibaca dari buku: SPIN Selling (Rackham N., 1995).
3.3 PENDIDIKAN ENGINEERING
Dalam hemat penulis, pendidikan Engineering juga harus dikaji ulang. Tidak cukup dengan hanya mengajarkan materi engineering itu sendiri. Mendidik tidak sama dengan mengajar. Mendidik membawa konotasi peningkatan kualitas mental dan cara berpikir, tidak hanya materi pelajaran. Karena itu perlu sekali para calon Engineer dididik dengan etika moral. Dan dilengkapi juga dengan dasar-dasar ilmu ekonomi dan hubungan masyarakat. Dengan demikian diharapkan Engineer tidak menjadi komoditi, alat atau pengikut investor, tetapi menjadi Engineer yang mempunyai kemampuan sebagai Komunikator, Penerap teknologi maju, Inovator, dan salah satu Leading Factor dalam pembangunan. Dan dalam skala kecil, yang mampu hidup dari dunia engineering dan tidak akan meninggalkan dunia engineering itu sendiri hanya karena dunia lain lebih menjanjikan secara keuangan.
Author Archives : GOUW Tjie-Liong
https://www.linkedin.com/pulse/20140803140802-247773108-engineer-dan-permasalahannya
Share This :
comment 2 Comment
more_vertI go through your blog it's really very interesting post and have useful information. I like it very much.
19 September 2018 at 16:50Thanks for sharing.
Vehicle tracking system
Fleet management software
As you have now understood the usage of ‘Record and Playback’ tool, the following are the different posts using which you can explore the functioning of ‘Selenium IDE’
21 September 2018 at 17:03selenium Training in chennai